Hubungan antara Aceh dengan Turki sudah berlangsung lama. Disebutkan
bahwa di Banda Aceh terdapat Kampung Bitai dan Emperom yang merupakan
cikal bakal tempat tinggal orang Turki di Aceh. Di Kampung Bitai banyak
terdapat makam yang diyakini sebagai keturunan Turki, dan Suriah di
Kampung Surin. Asal kata Bitai disebutkan berasal dari kata Baital
Maqdis, lama kelamaan berubah menurut lidah Aceh yaitu Bitai, sedangkan
Emperum berasal dari Empe dan Rium, demikian juga dengan Surin,
disebutkan berasal dari kata Suriah.
Sumber Portugis menyebutkan bahwa pertengahan abad ke-16 (sekitar tahun 1540 M) Aceh telah mengadakan hubungan dengan Turki. Pinto, seorang petualang Portugis menyebutkan bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli, bantuan tersebut dibawa oleh kapal Aceh sebanyak 4 buah yang sengaja datang ke Turki untuk mendapatkan alat-alat senjata dan pembangunan.
Selama abad ke-16 dan ke-17 terjadi pertukaran, baik dagang maupun diplomatik dan budaya antara Istanbul dengan Aceh. Utusan Aceh yang pertama ke Konstantinopel pada tahun 1562 M yang dikirim oleh Sultan Ala Addin Riayat Syah Al Kahhar.
Dalam rangka memperoleh bantuan dari Kerajaan Islam terbesar pada waktu itu, pada tahun 1563 M sultan Aceh mengirim suatu utusan ke kerajaan Turki. Utusan tersebut membawa serta hadiah-hadiah berharga dari sultan Aceh kepada penguasa kerajaan Turki. Hadiah-hadiah itu berupa emas, rempah-rempah dan lada.
Selain pemberian hadiah, para utusan Aceh juga telah meyakinkan pihak Turki mengenai suatu keuntungan yang akan diperoleh pihak Turki dari perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara, apabila orang-orang Portugis telah diusir dari Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki. Perutusan Aceh itu dapat dikatakan berhasil karena suatu keputusan Sultan Selim II Turki bertanggal 16 Rabiul Awal 975 atau 20 September 1567, berisi penyambutan positif atas permintaan sultan Aceh yang dibawa oleh wazirnya bernama Husin. Dari pertemuan Husin dengan Selim II diketahui betapa besarnya tekad kaum muslimin di kepulauan Nusantara untuk mengusir kafir Portugis. Akhirnya pihak Turki bersedia mengirim bantuan kepada Aceh, berupa dua buah kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal itu. Di antara 500 orang Turki itu juga terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang baik ukuran besar maupun kecil dan meriam berukuran besar. Selain itu, pihak Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer kepada pihak Aceh. Laksamana Turki Kurt Oglu Hizir diserahi tugas untuk memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam dan merampas benteng-benteng kafir.
Di lain pihak, Portugis juga meningkatkan kegiatan-kegiatannya, sekitar tahun 1554-1555 M armada Portugis mengendap terus di pintu masuk laut Merah khusus untuk menyergap kapal-kapal yang datang dari Gujarat dan Aceh. Namun, pengalaman Portugis menunjukkan tidak begitu berhasil mematahkan kegiatannya. Lebih merepotkan Portugis, di samping kegiatan Aceh menghadapi Portugis di laut lepas, Aceh juga tidak henti-hentinya menyerang Malaka. Atau seperti dikatakan oleh Couto dalam ungkapannya bahkan di tempat tidurnya pun Sultan Riayat Syah (Al Kahhar) tidak pernah diam untuk memikirkan pengganyangan Portugis.
Di samping bantuan militer yang diperoleh dari Turki, Aceh juga berusaha mendapatkan dari beberapa pemimpin kerajaan di Nusantara dan India tetapi Aceh hanya mendapatkan sekedar bantuan yang terbatas dari pemimpin Calicut dan Jepara. Selain itu, dalam rangka mengenyahkan Portugis dari kawasan selat Malaka, Aceh juga menggunakan tentara-tentara sewaan yang terdiri atas orang-orang Gujarat, Malabar dan Abyssinia.
Pada masa Sultan Al Mukammil, juga melakukan hubungan dengan Sultan Turki, Mustafa Khan. Ketika itu Sultan Mustafa Khan mengirim subuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberi pula sebuah pernyataan dan izin bahwa kapal-kapal perang Kerajaan Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di tiang kapal perangnya.
Selain itu, dalam Hikayat Aceh terdapat cerita panjang lebar tentang penyambutan perutusan Turki oleh Sultan Iskandar Muda. Suatu perutusan yang dipimpin oleh dua orang datang mencari kamper dan nafta yang diperlukan untuk obat.
Suatu ketika perutusan Aceh diberangkatkan ke Turki (Rum) untuk mengadakan perhubungan antara Aceh dengan Turki. Bingkisan yang dikirim untuk sultan Turki yang terpenting adalah lada, memenuhi semua kapal-kapal yang diberangkatkan. Karena terlalu lama dan banyak rintangan di laut, menyebabkan muatan lada menjadi habis di jalan dan tinggallah secupak lada saja yang dapat disampaikan sebagai bingkisan kepada Sultan Turki. Disebutkan bahwa kapal Aceh menempuh laut Merah lewat Mecha (suatu pelabuhan di Jazirah Arabia), lintasan laut sempit, dari situ berjalan darat melewati Palestina dan Syria (Suriah).
Kisah lada sicupak ini meskipun sudah merupakan dogeng, tetapi terus hidup di tengah masyarakat Aceh. Walaupun demikian, dalam kisah tersebut dapat saja dicari kebenarannya. Salah satu dari bait syair yang dinyanyikan dalam tarian seudati, yang berhubungan dengan peristiwa lada sicupak, sebagai berikut :
Dengo lon kisah Panglima Nyak Dom, U nanggroe Rum troih geubungka, Meriam sicupak troih gepuwo, Geupeujaro bak po meukuta. (Dengarkan kisah Panglima Nyak Dum, Berlayar sampai ke negeri Rum, Meriam sicupak dibawa pulang, diserahkan kepada paduka Mahkota).
Baba Daud : Ulama Aceh Asal Turki
Pertama-tama, terlebih dahulu kita memberikan penjelasan tentang asal kata Rum. Kota Anatolia yang saat ini dikenal sebagai wilayah utama Turki, merupakan kawasan yang berada di bawah hegomoni kekaisaran Bizantium yang juga disebut Kekaisaran Timur Roma pada masa lalu. Masyarakat yang menduduki teritorial Anatolia saat itu, di panggil sebagai orang Rum Sebelum pusat negara Saljuki dan Turki Usmani dapat menguasai wilayah ini. Oleh sebab itulah, mengapa Anatolia telah jauh dikenal sebagai daratan Rum. Disisi lain, Sumber-sumber Arab dan Persia memakai nama Rum untuk kekaisaran Bizantium dan Roma.
Setelah Bangsa Turki Saljuki berhasil merobohkan Anatolia pada permulaan abad ke-13, bangsa Turki mendiami Anatolia dan kemudian masyarakat yang hidup disekitar wilayah ini mulai memanggil mereka dengan gelar Rum.
Setelah Fatih Sultan Mehmed II (sang penakluk) berhasil menguasai Konstantinopel*, nama Rum mulai dipakai untuk golongan Turki. Oleh karena itu, telah menjadi suatu kebiasaan umum bangsa Turki dipanggil sebagai bangsa Rum, terutama mereka yang tinggal dikawasan Anatolia, tepatnya saat Turki Usmani berada pada puncak kekuasaan bagi seluruh dunia pada pertengahan kedua abad ke-15. kekuatan politik, ekonomi, dan budaya Turki Usmani juga mempengaruhi negara-negara Islam di dunia Melayu dan nusantara. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Melayu memanggil Sultan Turki Usmani sebagai ‘Raja Rum’ dikarnakan keberhasilannya menaklukkan Konstantinopel.
Sebagai hubungan antara Kesultanan Turki Usmani dan Kesultanan Aceh Darussalam, bangsa Turki lebih banyak datang mengunjungi Aceh dan mereka juga dipanggil dengan panggilan yang sama, tidak hanya oleh orang-orang Aceh sendiri tapi juga oleh penduduk di dunia Melayu.
Baba Daud di sebut Ar-Rum karena leluhurnya berasal dari Anatolia, Turki. Argumen lain yang mendukung pendapat ini adalah Emperum, sebuah desa yang terletak di pusat kota Banda Aceh. Alasan pemberian nama ini diketahui Sejak adanya pengunjung pertama yang berasal dari wilayah Turki pada abad ke-16. kata Emperium terdiri dari dua kata: ‘empe’ dan ‘rium’. ‘Empe’ berarti sebuah penghormatan. Sedangkan ‘Rium’, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dipakai untuk sekelompok orang yang datang dari Anatolia. Maka, kata ‘Emperium’ mulai dipakai oleh masyarakat Aceh untuk mengekspresikan penghormatan mereka pada komunitas Turki di Aceh.
Baba Daud salah seorang murid Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Kedudukan Baba Daud sebagai seorang Ulama besar dapat dilihat dari kontribusinya dalam mendirikan Dayah Manyang Leupue bersama-sama dengan gurunya. Disamping itu, Baba Daud juga mencurahkan jasanya dalam penulisan tafsir alquran dan tafsir Melayu pertama yang dipakai oleh As-Singkili sebagai referensi utama penulisan Tafsir Bayzawi. Buku tersebut berjudul Turjumanul al-Mustafid yang telah berperan penting dalam peningkatan pemikiran Islam di dunia Melayu.
Cetakan asli tulisannya dapat ditemukan pada salah seorang cucu Baba Daud yang berkediaman di Patani yang kemudian dipindahkan kepada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Patani. Karya tulis ini telah diterbitkan berkat bantuan Syeikh Ahmad Al-Patani. Berdasarkan penuturan oleh keturunan-keturunan Baba Daud bahwa ada beberapa karya lainnya yang dikarang oleh Baba Daud sendiri. Akan tetapi hingga kini belum ada data-data konkrit yang dapat ditemukan. Karya tulisan tangan Baba Daud tersebut disalin kembali oleh Syeikh Daud bin Ismail Al-Patani, salah seorang keturunannya yang juga dikenal sebagai Tok Daud Khatib. Tulisan tersebut diwasiatkan kepada sepupunya, Syeikh Ahmad Al-Patani yang kemudian ditulis kembali oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Patani, Syeikh Daud bin Ismail Al-Patani dan Syeikh Idris bin Husein Kelantan. Edisi pertama diterbitkan di Istanbul, Mekkah, dan Mesir. Ketiga pemuka agama tersebut juga melakukan beberapa koreksi pada karya tulis asli Baba Daud. Baba Daud, tak hanya mengkontribusikan hasil karya tulis gurunya, Syeikh Abdurrauf As-Singkili tapi juga menulis hasil karyanya sendiri. Salah satu tulisannya yang terkemuka adalah Risalah Masailal li Ikhwanil Muhtadi yang telah dijadikan sebagai buku pedoman utama tak hanya di Aceh tapi juga di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand yang semua negara ini dulunya saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu selama kurun waktu 300 tahun terakhir. Buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawi dan teknik tanya-jawab ini telah diakui sebagai salah satu cara terbaik untuk mengajarkan pengetahuan agama dasar bagi murid-murid yang tidak mengenal bahasa Arab. Buku ini juga menampilkan beberapa mata pendidikan yang berlainan seperti Akidah, Ibadah, dan lain sebagainya tanpa ada perubahan sedikitpun. Di samping itu pula, ajaran-ajaran dalam tulisan Baba Daud ini telah berperan banyak dalam pembentukan karakter keagamaan murid-murid di Aceh.
Sepanjang karirnya, Baba Daud juga dikenal sebagai seorang guru dan banyak orang-orang penting yng memilih untuk menjadi muridnya. Salah satunya adalah Nayan Baghdadi, anak dari Al-Firus al-Baghdadi, pendiri Dayah Tanoh Abee. Nayan Firus al-Baghdadi menjalani satu fase pendidikannya di Dayah Leupu Peunayong, sebuah dayah terkemuka di Aceh saat itu dan Baba Daud yang bergelar sebagai Teungku Chik di Leupu adalah salah satu gurunya. Setelah menyempurnakan pendidikannya di sini, Baba Daud menganjurkannya untuk kembali ke Seulimeum dan mendirikan sebuah pusat kegiatan pendidikan di sana. Selain Nayan Firus al-Baghdadi, Syeikh Faqih Jalaluddin juga tercatat sebagai salah seorang murid Baba Daud lainnya yang popular.
Tidak Diketahui apakah ada atau tidak keturunan Baba Daud yang masih hidup di Aceh saat ini. Bagaimanapun, seorang pemuka agama yang terkenal, Syeikh Daud bin Ismail al-Jawi al-Patani yang menetap di Patani, bagian selatan Thailand, diperkirakan sebagai salah seorang keturunanya. Haji Nik Wan Fatma binti Haji Wan Abdul Kadir Kelantan bin Syeikh Daud bin Ismail al-Patani (Kak Mah) yang disebut-sebut sebagai keturunannya yang lain telah menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Senin, 26 Juli 1999, di Kota Baru Kelantan.
Makam Baba Daud terletak berdekatan dengan lokasi Mesjid di Leupu, Peunayong (nama wilayah sebenarnya). Tempat tersebut merupakan salah satu tempat yang dahsyad diterjang Tsunami, kondisi makam tersebut juga menjadi rusak. Meskipun begitu, masyarakat dengan inisiatifnya sendiri memutuskan untuk meletakkan pagar di sekeliling makam tersebut dengan polesan tulisan, “ Makam Ulama Aceh. Anak Murid Tgk. Syiah Kuala.”
*Nama Konstantinopel diberikan sebagai nama kota karena kaisar Bizantium yang berkuasa saat itu bernama Konstantin. Nama ini merupakan nama lama kota Istanbul. Bahkan selama masa kerajaan Turki Usmani, nama ini juga dipakai oleh orang-orang Turki. Kemudian nama tersebut diubah menjadi Istanbul. Pemakaian nama Konstantinopel dapat ditemui dalam beberapa buku atau teks yang ditulis pada abad ke- 19 juga
Sumber Portugis menyebutkan bahwa pertengahan abad ke-16 (sekitar tahun 1540 M) Aceh telah mengadakan hubungan dengan Turki. Pinto, seorang petualang Portugis menyebutkan bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli, bantuan tersebut dibawa oleh kapal Aceh sebanyak 4 buah yang sengaja datang ke Turki untuk mendapatkan alat-alat senjata dan pembangunan.
Selama abad ke-16 dan ke-17 terjadi pertukaran, baik dagang maupun diplomatik dan budaya antara Istanbul dengan Aceh. Utusan Aceh yang pertama ke Konstantinopel pada tahun 1562 M yang dikirim oleh Sultan Ala Addin Riayat Syah Al Kahhar.
Dalam rangka memperoleh bantuan dari Kerajaan Islam terbesar pada waktu itu, pada tahun 1563 M sultan Aceh mengirim suatu utusan ke kerajaan Turki. Utusan tersebut membawa serta hadiah-hadiah berharga dari sultan Aceh kepada penguasa kerajaan Turki. Hadiah-hadiah itu berupa emas, rempah-rempah dan lada.
Selain pemberian hadiah, para utusan Aceh juga telah meyakinkan pihak Turki mengenai suatu keuntungan yang akan diperoleh pihak Turki dari perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara, apabila orang-orang Portugis telah diusir dari Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki. Perutusan Aceh itu dapat dikatakan berhasil karena suatu keputusan Sultan Selim II Turki bertanggal 16 Rabiul Awal 975 atau 20 September 1567, berisi penyambutan positif atas permintaan sultan Aceh yang dibawa oleh wazirnya bernama Husin. Dari pertemuan Husin dengan Selim II diketahui betapa besarnya tekad kaum muslimin di kepulauan Nusantara untuk mengusir kafir Portugis. Akhirnya pihak Turki bersedia mengirim bantuan kepada Aceh, berupa dua buah kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal itu. Di antara 500 orang Turki itu juga terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang baik ukuran besar maupun kecil dan meriam berukuran besar. Selain itu, pihak Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer kepada pihak Aceh. Laksamana Turki Kurt Oglu Hizir diserahi tugas untuk memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam dan merampas benteng-benteng kafir.
Di lain pihak, Portugis juga meningkatkan kegiatan-kegiatannya, sekitar tahun 1554-1555 M armada Portugis mengendap terus di pintu masuk laut Merah khusus untuk menyergap kapal-kapal yang datang dari Gujarat dan Aceh. Namun, pengalaman Portugis menunjukkan tidak begitu berhasil mematahkan kegiatannya. Lebih merepotkan Portugis, di samping kegiatan Aceh menghadapi Portugis di laut lepas, Aceh juga tidak henti-hentinya menyerang Malaka. Atau seperti dikatakan oleh Couto dalam ungkapannya bahkan di tempat tidurnya pun Sultan Riayat Syah (Al Kahhar) tidak pernah diam untuk memikirkan pengganyangan Portugis.
Di samping bantuan militer yang diperoleh dari Turki, Aceh juga berusaha mendapatkan dari beberapa pemimpin kerajaan di Nusantara dan India tetapi Aceh hanya mendapatkan sekedar bantuan yang terbatas dari pemimpin Calicut dan Jepara. Selain itu, dalam rangka mengenyahkan Portugis dari kawasan selat Malaka, Aceh juga menggunakan tentara-tentara sewaan yang terdiri atas orang-orang Gujarat, Malabar dan Abyssinia.
Pada masa Sultan Al Mukammil, juga melakukan hubungan dengan Sultan Turki, Mustafa Khan. Ketika itu Sultan Mustafa Khan mengirim subuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberi pula sebuah pernyataan dan izin bahwa kapal-kapal perang Kerajaan Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di tiang kapal perangnya.
Selain itu, dalam Hikayat Aceh terdapat cerita panjang lebar tentang penyambutan perutusan Turki oleh Sultan Iskandar Muda. Suatu perutusan yang dipimpin oleh dua orang datang mencari kamper dan nafta yang diperlukan untuk obat.
Suatu ketika perutusan Aceh diberangkatkan ke Turki (Rum) untuk mengadakan perhubungan antara Aceh dengan Turki. Bingkisan yang dikirim untuk sultan Turki yang terpenting adalah lada, memenuhi semua kapal-kapal yang diberangkatkan. Karena terlalu lama dan banyak rintangan di laut, menyebabkan muatan lada menjadi habis di jalan dan tinggallah secupak lada saja yang dapat disampaikan sebagai bingkisan kepada Sultan Turki. Disebutkan bahwa kapal Aceh menempuh laut Merah lewat Mecha (suatu pelabuhan di Jazirah Arabia), lintasan laut sempit, dari situ berjalan darat melewati Palestina dan Syria (Suriah).
Kisah lada sicupak ini meskipun sudah merupakan dogeng, tetapi terus hidup di tengah masyarakat Aceh. Walaupun demikian, dalam kisah tersebut dapat saja dicari kebenarannya. Salah satu dari bait syair yang dinyanyikan dalam tarian seudati, yang berhubungan dengan peristiwa lada sicupak, sebagai berikut :
Dengo lon kisah Panglima Nyak Dom, U nanggroe Rum troih geubungka, Meriam sicupak troih gepuwo, Geupeujaro bak po meukuta. (Dengarkan kisah Panglima Nyak Dum, Berlayar sampai ke negeri Rum, Meriam sicupak dibawa pulang, diserahkan kepada paduka Mahkota).
Baba Daud : Ulama Aceh Asal Turki
Pertama-tama, terlebih dahulu kita memberikan penjelasan tentang asal kata Rum. Kota Anatolia yang saat ini dikenal sebagai wilayah utama Turki, merupakan kawasan yang berada di bawah hegomoni kekaisaran Bizantium yang juga disebut Kekaisaran Timur Roma pada masa lalu. Masyarakat yang menduduki teritorial Anatolia saat itu, di panggil sebagai orang Rum Sebelum pusat negara Saljuki dan Turki Usmani dapat menguasai wilayah ini. Oleh sebab itulah, mengapa Anatolia telah jauh dikenal sebagai daratan Rum. Disisi lain, Sumber-sumber Arab dan Persia memakai nama Rum untuk kekaisaran Bizantium dan Roma.
Setelah Bangsa Turki Saljuki berhasil merobohkan Anatolia pada permulaan abad ke-13, bangsa Turki mendiami Anatolia dan kemudian masyarakat yang hidup disekitar wilayah ini mulai memanggil mereka dengan gelar Rum.
Setelah Fatih Sultan Mehmed II (sang penakluk) berhasil menguasai Konstantinopel*, nama Rum mulai dipakai untuk golongan Turki. Oleh karena itu, telah menjadi suatu kebiasaan umum bangsa Turki dipanggil sebagai bangsa Rum, terutama mereka yang tinggal dikawasan Anatolia, tepatnya saat Turki Usmani berada pada puncak kekuasaan bagi seluruh dunia pada pertengahan kedua abad ke-15. kekuatan politik, ekonomi, dan budaya Turki Usmani juga mempengaruhi negara-negara Islam di dunia Melayu dan nusantara. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Melayu memanggil Sultan Turki Usmani sebagai ‘Raja Rum’ dikarnakan keberhasilannya menaklukkan Konstantinopel.
Sebagai hubungan antara Kesultanan Turki Usmani dan Kesultanan Aceh Darussalam, bangsa Turki lebih banyak datang mengunjungi Aceh dan mereka juga dipanggil dengan panggilan yang sama, tidak hanya oleh orang-orang Aceh sendiri tapi juga oleh penduduk di dunia Melayu.
Baba Daud di sebut Ar-Rum karena leluhurnya berasal dari Anatolia, Turki. Argumen lain yang mendukung pendapat ini adalah Emperum, sebuah desa yang terletak di pusat kota Banda Aceh. Alasan pemberian nama ini diketahui Sejak adanya pengunjung pertama yang berasal dari wilayah Turki pada abad ke-16. kata Emperium terdiri dari dua kata: ‘empe’ dan ‘rium’. ‘Empe’ berarti sebuah penghormatan. Sedangkan ‘Rium’, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dipakai untuk sekelompok orang yang datang dari Anatolia. Maka, kata ‘Emperium’ mulai dipakai oleh masyarakat Aceh untuk mengekspresikan penghormatan mereka pada komunitas Turki di Aceh.
Baba Daud salah seorang murid Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Kedudukan Baba Daud sebagai seorang Ulama besar dapat dilihat dari kontribusinya dalam mendirikan Dayah Manyang Leupue bersama-sama dengan gurunya. Disamping itu, Baba Daud juga mencurahkan jasanya dalam penulisan tafsir alquran dan tafsir Melayu pertama yang dipakai oleh As-Singkili sebagai referensi utama penulisan Tafsir Bayzawi. Buku tersebut berjudul Turjumanul al-Mustafid yang telah berperan penting dalam peningkatan pemikiran Islam di dunia Melayu.
Cetakan asli tulisannya dapat ditemukan pada salah seorang cucu Baba Daud yang berkediaman di Patani yang kemudian dipindahkan kepada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Patani. Karya tulis ini telah diterbitkan berkat bantuan Syeikh Ahmad Al-Patani. Berdasarkan penuturan oleh keturunan-keturunan Baba Daud bahwa ada beberapa karya lainnya yang dikarang oleh Baba Daud sendiri. Akan tetapi hingga kini belum ada data-data konkrit yang dapat ditemukan. Karya tulisan tangan Baba Daud tersebut disalin kembali oleh Syeikh Daud bin Ismail Al-Patani, salah seorang keturunannya yang juga dikenal sebagai Tok Daud Khatib. Tulisan tersebut diwasiatkan kepada sepupunya, Syeikh Ahmad Al-Patani yang kemudian ditulis kembali oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Patani, Syeikh Daud bin Ismail Al-Patani dan Syeikh Idris bin Husein Kelantan. Edisi pertama diterbitkan di Istanbul, Mekkah, dan Mesir. Ketiga pemuka agama tersebut juga melakukan beberapa koreksi pada karya tulis asli Baba Daud. Baba Daud, tak hanya mengkontribusikan hasil karya tulis gurunya, Syeikh Abdurrauf As-Singkili tapi juga menulis hasil karyanya sendiri. Salah satu tulisannya yang terkemuka adalah Risalah Masailal li Ikhwanil Muhtadi yang telah dijadikan sebagai buku pedoman utama tak hanya di Aceh tapi juga di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand yang semua negara ini dulunya saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu selama kurun waktu 300 tahun terakhir. Buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawi dan teknik tanya-jawab ini telah diakui sebagai salah satu cara terbaik untuk mengajarkan pengetahuan agama dasar bagi murid-murid yang tidak mengenal bahasa Arab. Buku ini juga menampilkan beberapa mata pendidikan yang berlainan seperti Akidah, Ibadah, dan lain sebagainya tanpa ada perubahan sedikitpun. Di samping itu pula, ajaran-ajaran dalam tulisan Baba Daud ini telah berperan banyak dalam pembentukan karakter keagamaan murid-murid di Aceh.
Sepanjang karirnya, Baba Daud juga dikenal sebagai seorang guru dan banyak orang-orang penting yng memilih untuk menjadi muridnya. Salah satunya adalah Nayan Baghdadi, anak dari Al-Firus al-Baghdadi, pendiri Dayah Tanoh Abee. Nayan Firus al-Baghdadi menjalani satu fase pendidikannya di Dayah Leupu Peunayong, sebuah dayah terkemuka di Aceh saat itu dan Baba Daud yang bergelar sebagai Teungku Chik di Leupu adalah salah satu gurunya. Setelah menyempurnakan pendidikannya di sini, Baba Daud menganjurkannya untuk kembali ke Seulimeum dan mendirikan sebuah pusat kegiatan pendidikan di sana. Selain Nayan Firus al-Baghdadi, Syeikh Faqih Jalaluddin juga tercatat sebagai salah seorang murid Baba Daud lainnya yang popular.
Tidak Diketahui apakah ada atau tidak keturunan Baba Daud yang masih hidup di Aceh saat ini. Bagaimanapun, seorang pemuka agama yang terkenal, Syeikh Daud bin Ismail al-Jawi al-Patani yang menetap di Patani, bagian selatan Thailand, diperkirakan sebagai salah seorang keturunanya. Haji Nik Wan Fatma binti Haji Wan Abdul Kadir Kelantan bin Syeikh Daud bin Ismail al-Patani (Kak Mah) yang disebut-sebut sebagai keturunannya yang lain telah menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Senin, 26 Juli 1999, di Kota Baru Kelantan.
Makam Baba Daud terletak berdekatan dengan lokasi Mesjid di Leupu, Peunayong (nama wilayah sebenarnya). Tempat tersebut merupakan salah satu tempat yang dahsyad diterjang Tsunami, kondisi makam tersebut juga menjadi rusak. Meskipun begitu, masyarakat dengan inisiatifnya sendiri memutuskan untuk meletakkan pagar di sekeliling makam tersebut dengan polesan tulisan, “ Makam Ulama Aceh. Anak Murid Tgk. Syiah Kuala.”
*Nama Konstantinopel diberikan sebagai nama kota karena kaisar Bizantium yang berkuasa saat itu bernama Konstantin. Nama ini merupakan nama lama kota Istanbul. Bahkan selama masa kerajaan Turki Usmani, nama ini juga dipakai oleh orang-orang Turki. Kemudian nama tersebut diubah menjadi Istanbul. Pemakaian nama Konstantinopel dapat ditemui dalam beberapa buku atau teks yang ditulis pada abad ke- 19 juga
0 comments:
Post a Comment