728x90 AdSpace

  • Latest News

    Wednesday, 22 October 2014

    aceh antara harapan dan asa

    Kenapa Orang Aceh Tidak Pernah (Mau) Maju?
    Pernah mencoba menjawab pertanyaan diatas? Kenapa bangsa aceh jauh tertinggal dari wilayah lain di Indonesia? Dan juga bangsa lain di dunia? Padahal kita sama-sama makan nasi, sama sama punya waktu 24 jam dalam sehari? Sama sama belajar membaca dari buku “ini budi”? tapi kenapa Aceh masih seperti itu itu saja?
    Banyak hipotesa yang mencoba menjawab pertanyaan ini, tapi menurut hemat saya, persoalannya hanya berpangkal pada 3 hal saja.
    1. Bangga dengan masa lalu
    Siapa orang Aceh yang tidak bangga dengan Sultan Iskandar Muda? Siapa wanita Aceh yang tidak bangga dengan Ratu Safiatuddin, Laksanamana Malahayati, dan Cut Nyak Dhien? Siapa orang Aceh yang tidak bangga dengan kecemerlangan bangsa kita dimasa lalu? Dalam banyak lirik atau syair Aceh, kehebatan masa lampau sangat sering di sebut, hingga sudah terpatri kedalam alam bawah sadar kita, kita dulu hebat.
    Tapi, apa yang salah dengan kebanggaan masa lalu? Tidak ada, dan justru itu bagus. Yang salah adalah saat kita hanya membanggakan tapi tidak pernah bisa mengulang kisah sukses masa lalu tersebut. Saat ini kita terbuai dengan apa yang “indatu” kita dulu perbuat, sedangi kita tak pernah mencoba untuk berbuat seperti mereka dulu. Padahal kita kini hidup di zaman dan masa yang berbeda. Kita seharusnya tidak hanya bisa berbangga, tapi bagaimana bisa berbuat melebihi apa yang pernah mereka capai. Karena sekali lagi, kalau kita hanya bisa terbuai dengan kisah indah masa lalu, bersiaplah dengan buaian kekalahan dan meninggalkan sejarah kelam kepada anak cucu kita nantinya.
    Pernah seorang kawan berkata, “kita asik bangga dengan kejayaan lampau, mungkin kalau mereka bisa bangkit dari kubur dan menemukan kita hanya bisa terlena dengan kehebatan mereka, kita bisa ditampar satu persatu, karena mereka malu dengan kita yang tak bisa atau tak mau berbuat, tapi hanya bisa berbagga”, bisa jadi ya?
    Nah, sekarang tantangan ada di depan kita, masih mau berbangga? Atau mau mulai berbuat melebihi apa yang pernah mereka perbuat dahulu?
    2. Tidak Ada Penghargaan Terhadap Waktu
    Bagi orang Aceh, waktu dalam sehari semalam bukan 24 jam, melainkan bisa sampai 30 jam, jadi tidak heran jika waktu bisa dibuang “galak-galak”. Contohnya seperti ini, misal ada rencana ketemuan jam 09.00, dapat dipastikan orang akan datang berkumpul sekitar jam 10.00 atau malah bisa jam 11.00, padahal semua tahu bahwa rencana yang disepakati adalah jam 09.00, dan mereka bukan tidak datang tepat waktu karena ada hal mendesak lainnya, tapi memang karena sudah begitu “lazimnya”. Padahal dalam waktu sejam, sangat banyak hal yang bisa dlilakukan, tapi buat orang Aceh, mereka merasa tak ada rasa “bersalah” sedikitpun waktunya terbuang atau telat datang, “orang lain juga begitu”.
    Contoh lain, kalau anda mendapatkan undangan, misal undangan rapat, hampir dapat dipastikan yang tertulis di undangan adalah waktu dimulainya rapat, sedang waktu kapan rapat diharapkan berakhir tidak pernah tertulis, Misal: undangan, jam 15.00 wib s/d Selesai, jadi selesainya bisa kapan saja, bukankah ini membuktikan tidak ada manajemen atau alokasi waktu yang jelas? Bukankah akan lebih baik jika ditulis: acara mulai Jam 15.00 s/d 16.30 wib. Sehingga orang yang menerima undangan bisa memastikan apa yang bisa dilakukan setelah jam 16.30? sekali lagi, buat orang Aceh, hal hal seperti ini masih tabu, tidak heran dalam sehari waktu kita terbuang percuma karena tanpa perencanaan yang jelas.
    Nah, maukah kita mengatur waktu lebih baik lagi? Kalau bukan sekarang dimulai, sampai kapan kita akan memakai jam karet ini?
    3. Produktivitas dikalahkan waktu santai
    Dalam sebuah film documenter “sicko” tentang system kesehatan dinegara Amerika, Jerman, Inggris dan Perancis; Orang Amerika yang sudah lama tinggal di Perancis di wawancara oleh si pembuat film, kenapa mereka lebih senang kerja dan tinggal di Perancis? Mereka menjawab, “produktivitas disini lebih tinggi, jadi wajar kalau kami dibayar lebih baik”.
    Dari cukilan diatas, sekilas dapat disimpulkan bahwa yang membuat orang barat atau mereka yang tinggal di negara maju lebih “hebat” dibandingkan kita di Aceh ini adalah dalam hal produktivitas. Saat sedang bekerja, mereka benar benar bekerja, tidak ada istilah main main, berbeda jauh dengan kita, saat sedang bekerjapun, masih sempat bergosip, chatting, bersosial media ria dan sebagainya.
    Aceh saat ini punya sekitar 5 juta jiwa, hampir sama dengan jumlah penduduk Negara Norwegia. Tapi coba lihat, berapa buku ilmiah yang ditulis oleh orang Aceh saat ini? berapa software computer yang dibuat orang Aceh? berapa perusahaan internasional yang dimiliki dan ber HQ di Aceh? Berapa orang Aceh yang berhasil kerja di UN? buat kalangan dosen, berapa banyak penelitian dan publikasi yang dilakukan oleh pengajar di Aceh? bandingkan dengan produktivitas Orang Norwegia. hampir semua lini mereka punya ahli, hampir semua perusahaan besar ada penduduk mereka yang kerja disana, penelitian dan publikasi ilmiah tak terhitung jumlahnya, padahal sekali lagi, jumlah penduduk mereka dengan penduduk Aceh hampir sama, tapi kenapa dalam hal produktivitas kita berbeda?
    Kiat cenderung bekerja dengan santai tanpa target yang membebani, apalagi buat mereka yang punya usaha pribadi, otomatis semua ditentukan sendiri. Jarang sekali dalam bekerja kita membuat target, “hari ini harus selelesai ini, dalam sejam harus siap ini”, dan sebagainya. Bahkan ketika ada pekerjaan lebih dari biasanya, kita langsung marah karena itu membebani kita, padahal kalau berfikir positif, justru hal ini adalah peluang kita untuk jadi lebih produktif.
    Orang kita (Aceh) bisa dibilang kelewat santai, sehari-hari lebih banyak waktu dihabiskan untuk menjadi konsumen televisi, konsumen warung kopi dan konsumen konsumen lainnya, tanpa pernah berfikir untuk menjadi produsen sama sekali. Kita hidup di daerah yang “semuanya ada”, sehingga sangat kecil keinginan untuk berbuat yang lebih atau menghasilkan sesuatu yang ekstra.
    Pada akhirnya, tingkat produktivitaslah yang membuat kita lebih baik dari orang lain. Dan sekarang, coba anda pikirkan, apa hal prositif atau hal yang bermanfaat yang sudah anda lakukan hari ini? Jika belum ada, atau belum lebih baik dari hari kemarin, maka lakukan. SEKARANG! Shere jeut njang bek gabuek.....
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: aceh antara harapan dan asa Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top