Mengenang 8 Tahun Tragedi Beutong Ateuh
(Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Para Santrinya)
Bèk Lé Lagéë njang Ka! – Jangan Terulang Lagi!
(Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Para Santrinya)
Bèk Lé Lagéë njang Ka! – Jangan Terulang Lagi!
Tragedi Beutong Ateuh yang terjadi
pada tanggal 23 Juli 1999 merupakan peristiwa pelanggaran berat HAM
yang menimpa warga sipil yaitu Teungku Bantaqiah dan para santrinya di
Kec. Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya. Dalam peristiwa tersebut
sebanyak 25 orang tewas dan 5 lainnya hilang. Praktek impunitas dan
penyalahgunaan wewenang oleh aparat negara dimasa lalu dalam menangani
konflik bersenjata diyakini sebagai sebab terus berulangnya kasus yang
sama di berbagai tempat di bumi Aceh.
Setahun setelah peristiwa Beutong Ateuh terjadi
pemerintah telah menggelar Pengadilan Koneksitas dengan memvonis
sebanyak 24 (dua puluh empat) prajurit TNI dan 1 (satu) orang warga
sipil. Akan tetapi dalam kasus ini negara belum sepenuhnya bersandarkan
pada hukum normatif hak asasi manusia yang menekankan kewajiban negara
untuk melakukan reparasi (kompensasi, rehabilitasi dan restitusi)
terhadap korban pelanggaran berat HAM di samping kewajiban untuk
meggelar Human Rights Court (pengadilan HAM). Pada penyelesaian
kasus Beutong Ateuh, negara hanya berhenti pada vonis pelaku melalui
pengadilan koneksitas (bukan melalui mekanisme yudisial HAM) tanpa
dibarengi dengan proses pemulihan fisik, phiskis dan ganti rugi yang
layak terhadap korban yang masih hidup maupun terhadap ahli waris yang
menanggung penderitaan akibat peristiwa tersebut.
Hal ini terungkap kembali dalam Focus Group Discussion
(FGD) yang dilakukan KontraS Aceh pada tanggal 28 Juli 2007 di Kec.
Jeuram Kab. Nagan Raya yang diikuti sebanyak 14 orang korban/keluarga
korban. Dalam FGD tersebut, secara umum korban memaparkan ketidakpuasan
mereka atas proses hukum yang berlangsung terhadap kasus pembantaian
Tgk. Bantaqiah, apalagi pasca peristiwa (1999) sampai dengan setahun
lebih perdamaian berlangsung (2007) pihak korban/ahli waris mengakui
belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah, terutama
berkaitan dengan keterjaminan penghidupan para janda serta
keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka.
Peringatan 8 tahun tragedi Beutong Ateuh paling
tidak dapat diartikan sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas kepada
para syuhada dan keluarga yang ditinggalkan. Tragedi ini cukup menjadi
pengalaman buruk bagi kita dan generasi bangsa di masa mendatang
(memorilisasi sosial atas kekeliruan praktek kekuasaan di masa lalu).
Disamping itu, peringatan ini juga diarahkan sebagai media kampanye
membangun dukungan dari pemerintah dan stake holder lainnya agar
memberikan perhatian yang lebih besar kepada korban konflik di Beutong
Ateuh dan korban lainnya di seluruh Aceh yang sudah lama terabaikan
dalam konflik kekerasan masa lalu bahkan nyaris terpinggirkan dari
proses rehab dan rekon di Aceh.
0 comments:
Post a Comment